Rabu, 16 September 2015

Mereka



sebelumnya, cerpen ini terinspirasi dari lagu yang berjudul "Mereka", bisa di dengarkan di sini. Mikha Angelo - Mereka 
***
            Bus yang kami naiki berhenti pada suatu rumah. Pagarnya tinggi menjulang, di setiap sisi pagarnya banyak sekali hiasan seperti tempelan-tempelan origami. Aku mendongakkan kepala ku ke atas, di atas sana tertulis “Rumah Singgah Ceria”. Aku tak merasa asing dengan tempat ini, aku seperti pernah mengunjungi tempat ini namun entah kapan. Di depan kami berdiri seorang wanita paruh baya, dia tersenyum menyambut kedatangan kami.
            “Mari, silakan masuk.” Ibu itu tersenyum, kemudian kami sibuk berjabat tangan.
            “Jadi, rumah singgah ini sudah berdiri sejak delapan tahun yang lalu. Sampai saat ini sudah banyak sekali anak-anak yang tinggal di rumah ini.” jelasnya sambil berjalan mendahulu kami. Kami mengekor dari belakang.
            Aku dan teman-teman yang lainnya sedang mengadakan acara bakti sosial di sebuah rumah singgah penderita kanker. Rumah ini tak begitu besar, sederhana, namun terlihat nyaman. di dindingnya penuh dengan karya, seperti kerajinan, lukisan, coretan-coretan, origami, bunga-bunga dari sedotan, dan masih banyak lagi. Aku yakin ini semua pasti hasil karya tangan para anak-anak hebat itu.
            Aku menghirup nafas, masih tak percaya. Mereka, penderita kanker yang biasanya hanya aku lihat di dunia maya, atau menonton kisahnya di sebuah film, atau membacanya di sebuah novel, kini sedang tersenyum di hadapan kami. Aku membalas senyum mereka penuh semangat.
            Raga mereka sakit, namun jiwa mereka tidak. Wajah mereka pucat, namun senyum mereka tetap cerah. Raga mereka lemah, namun hati mereka kuat. Hati mereka mungkin menangis, namun mata mereka tak menampakkan kesedihan.
            Kebetulan dalam acara ini, aku berkesempatan untuk menjadi pembawa acara. Rasanya gugup, di saat kita terbisa menghadapi penonton yang sehat, namun saat ini kita sedang menghadapi penonton yang sebenarnya sakit tetapi tetap berusaha untuk terlihat sehat.
           
Halloo!!! Sebelumnya perkenalkan namaku Ditya, Kami dari SMA Cakrawala, hari ini, di siang yang cerah ini, eh cerah gak sih? Ya anggap aja cerah ya, walaupun sedikit mendung.” Aku tertawa. Garing. Bagus. “Mendung juga gak berpengaruh, kan kita ada di dalam ruangan. Jadi kami akan tetap menghibur kalian semuaaa! Mana teriakannya woooo!!!” aku berseru semangat.
            “Jadi, sebelum ke puncak acara, kita persilakan terlebih dahulu sang ketua panitia untuk memberikan sambutan. Yok mari
Mas, waktu saya persilakan.” Aku turun dari panggung, kemudian digantikan oleh Adit yang menjabat sebagai ketua panitia dalam acara ini. Aku mendekati para anak-anak dan berbaur dalam rombongan mereka.
            “Hai! Aku kemarin ketemu kamu! Kamu kemarin pakai wig?” tanyaku pada anak perempuan itu. Seminggu yang lalu, aku melihatnya di sebuah acara penggalangan dana untuk penderita kanker. Saat itu rambutnya lurus sebahu namun sekarang sudah tidak lagi.
            “Rambutku rontok, karna kemoterapi lima hari yang lalu.” Anak perempuan itu tersenyum, namun kesedihan sangat terlihat pada sorot matanya. Aku begitu terkejut mendengarnya.
            “Nama kamu siapa?”tanyaku sambil mengulurkan tangan.
            “Cessa Kak.” jawabnya sambil membalas uluran tanganku.
            “Oya, aku dengar-dengar acara yang kemarin itu berhasil mengumpulkan uang dua ratus juta loh! Semoga bisa membantu penyembuhan penyakit kamu dan teman-teman ya!” kataku. Cessa mengangguk semangat.
            “Semoga kak.” balasnya.
            “Sebentar ya.” Aku pamit pada segerombolan anak yang ada di dekatku, kemudian berjalan menaiki panggung.
            “Ekhem! –Aku bertepuk tangan mencari perhatian- Oke sekarang aku mau mempersembahkan sesuatu untuk kalian semua!” anak-anak di depanku mulai berbisik-bisik antusias.
            “Sekarang, kalian boleh nengok ke belakang!” semuanya spontan menengok ke belakang. Di belakang sana berdiri sebuah grupband lokal yang namanya sudah tak asing lagi di telinga kami.
            “WAH!! HOPE BAND!!” seorang anak berteriak kegirangan. Personil Hope Band segera berjalan ke panggung. Lalu menjabat tanganku.
            “Hallo!! Kita semua senang bisa berkunjung ke sini, bertemu kalian, para anak-anak yang hebat. Ada yang sudah kenal kami?” tanya sang vokalis yang membawa gitar itu.
            “Hope Band!!” teriak anak-anak.
            “Wah! Ternyata kita cukup dikenal! Haha oya yang belum tau kita, ini aku Vano di vocal, dan ini Stevent sebagai bassist, dan yang itu Falen sebagai gitaris, dan yang di belakang sana, itu drummer kita namanya Elle, tapi sekarang dia main cajon bukan drum! Karna kita susah bawanya! Haha!” kata Vano memperkenalkan diri. Dan kulihat Elle tertawa di atas cajonnya.
            “Seperti nama band kita, Hope Band, semoga kita bisa membawa harapan bagi kalian semua.” kata Falen. “One.. Two.. Three.. go..” hitungnya.
            Intro lagu ini sudah tak asing lagi di telinga ku. Sayap Pelindungmu dari band The Overtunes. Ku dengar anak-anak itu ikut bernyanyi semangat. Tak jarang mereka tertawa di sela-sela bernyanyi, dan itu karna ulah panitia lain yang menjaili para personil Hope Band. Seperti saat ini, tiba-tiba seorang panitia laki-laki berlari kemudian menyelipkan bunga di telinga Vano. Kami semua tertawa melihatnya, termasuk para personil Hope Band itu sendiri.
            “Kapanpun mimpi terasa jauh, oh, ingatlah sesuatu, ku akan selalu jadi sayap pelindugmu.. saat duniamu mulai pudar dan kau merasa hilang, ku akan selalu jadi sayap pelindungmu..”
            Setelah menyanyikan beberapa lagu, hope band kemudian turun dan berbaur dengan anak-anak. Kini di atas panggung telah di isi oleh pentas teater dari sekolah kami. Tapi tak disangka Falen berjalan ke arahku kemudian duduk di sampingku.
            “Falen. Siapa?” tanyanya.
            “Ditya.” aku tersenyum. Canggung.
            “Makasih ya udah undang kita.” Falen tersenyum. Kemudian mengobrol dengan anak-anak di sekeliling kami.
            “Dit, kamu pernah gak sih mikir kalau kamu bukan siapa-siapa?” tanya Falen tiba-tiba. Jangan tanya gimana keadaanku, aku kaget setengah mati.
            “Pernah, kenapa?” tanyaku balik.
            “Tapi lihat deh mereka, mereka punya beban di hidupnya, mereka pasti gak pernah mau buat ngerasain itu semua.”
            “Iyalah, mana ada yang mau sakit kanker.” aku berbicara pelan.
            “Kamu ngerasa gak sih kalau sebenarnya kita itu beruntung? Kita sehat, bahagia, hidup berkecukupan, sedangkan mereka? Mereka punya beban yang berat di balik tawanya.”
            Aku diam tak bereaksi.
            “Kita harusnya lebih banyak bersyukur sama Tuhan. Karna kita dipilih untuk tidak merasakan penyakit itu.” kata Falen, matanya menerawang. “Aku jadi mau nyampein sesuatu sama mereka, Ikut yuk!” Falen tiba-tiba menggandeng tanganku dan membawaku ke depan panggung. Rasanya? Antara gugup dan canggung. Kita mau ngapain?
            “Hallo! Masih ingat namaku?” tanyanya semangat di balik mic.
            “Kak Falen!”
            “Yap betul! Jujur aku dan mungkin semua yang ada di sini kagum banget sama kalian, dan kita juga banyak belajar dari kalian.” Falen berhenti sebentar, menarik nafas.
            “Hati manusia pasti gak akan diam gitu aja. Kita mungkin memang terlahir berbeda. Tapi dengan perbedaan itu kita saling melengkapi, saling menemani.” katanya, kuliahat ada sedikit jeda.
            “Dan kalau mimpi kalian terasa jauh untuk digapai, coba lihatlah ke sekeliling kalian masih banyak orang yang peduli sama kalian, sayang sama kalian.” kataku, Falen tersenyum.
            “Yakinlah, kita gak bakal ninggalin kalian sendiriuntuk ngelawan monster itu. Kita akan ikut ngelawan monster itu. Kalian gak sendiri! Kita bakal lalui semuanya bareng-bareng!” kataku. Anak-anak itu diam mendengarkan, dan tak sedikit juga yang hampr menangis.
            “Mungkin kita emang gak punya kuasa, mungkin kita gak bisa berbuat apa-apa. Kita memang bukan Tuhan yang tiba-tiba bisa mengusir monster itu. Mungkin emang cuma kalian yang bisa ngelawan monster itu. Kalian jangan mau kalah sama monster itu! Kalian harus berjuang buktikan kalau kalian memang kuat dan hebat!” kata Falen. Terlihat semburat kesedihan di dalam matanya.
            “Moster itu bukan halangan kalian untuk meraih mimpi. Kalian tetap punya kesempatan yang sama, seperti kita.” sambungnya.
            “Tetaplah tersenyum, percaya sama diri kalian kalau kalian akan sembuh. Kita semua di sini dukung kalian, orang tua kalian, para ibu asuh kalian, dokter, aku, Vano, Elle, Stevent, Ditya, dan panitia yang lain.”
            “Intinya tetap semangat, dan jangan pernah merasa sendiri! Duh Len, kenapa jadi sedih gini sih?” aku tertawa walaupun terlihat terpaksa.
            “Len sehat? Gila itu bukan lo banget man!” Elle dari belakang sana berteriak diselangi tawa.
            “Ya mungkin ada monster baik yang tiba-tiba masuk ke tubuh aku, dan kemudian mengambil sisi buruk ku.” Falen tertawa. Padahal sama sekali tidak ada yang lucu.
            “Apaan sih Len! Jayus!” Stevent berteriak dari seberang sana.
            “Sorakin Kak Falen WOOO!!!” aku berseru lalu diikuti oleh sorakan anak-anak. Falen nyengir memperlihatkan giginya.
            “Kak Falen ini merusak suasana ya. Yang harusnya kita bahagia malah dibikin nangis gini.. hmm enaknya Kak Falen diapain ya?” Tanyaku sambil menatap jail Falen.
            “HUKUM!!!” dari sisi yang berbeda semua personil Hope Band berteriak bersamaan. Aku tertawa.
            “Enaknya dihukum apa nih?” tanyaku jail. “Gimana kalau kita main truth or dare aja? Jadi sebenarnya kita sudah menyiapkan sebuah undian, dan semua nama kalian ada di sini, Termasuk nama para personil Hope Band, pengisi acara, dan panitia. Dan namaku gak ada di sini! Yey!” aku tertawa penuh kemenangan.
            “Apaan! Gak adil banget! Apaan!” kata Falen kesal. Aku tertawa kemudian menjulurkan lidah mengejek.
            “Dan untuk korban awalnya adalah Kak Falen! Dan sebagai hukuman, Kak Falen harus pilih dare!” aku tertawa puas. “Ada yang mau usul?” tanyaku.
            “Nyanyi dangdut sambil goyang!” Adit berteriak dari kumpulan para panitia.
            “Yok mari Mas Falen, Monggo!” kataku sambl tertawa puas.
            “Tarik maaang!”
            Acara kembali heboh dan menyenangkan. Kami semua bercanda tawa, bahagia. Rasanya aku ingin mereka terus seperti ini, terus tertawa tanpa adanya beban, tanpa adanya obat, tanpa adanya rasa sakit setelah kemoterapi. Tapi aku tau, mereka sebenarnya orang-orang yang terpilih, orang-orang yang istimewa. Mereka dipilih karna Tuhan yakin mereka kuat, mereka bisa, dan mereka mampu menghadapi semuanya. Tuhan, aku bersyukur pada-Mu atas semua yang telah Kau berikan kepadaku.
-Tamat-

Read Comments