Sebelumnya, ini pernah dimuat di majalah sekolah. tapi gak papalah ya aku pos di sini juga. Haha! oke happy reading!
***
Pernahkah kau merasakan
rasa penyesalan yang begitu dalam? Kau tahu? Kini aku sedang merasakannya. Jika
aku boleh memutar waktu, aku ingin merubah semuanya menjadi baik-baik saja.
***
Saat
ini aku sedang berdiri di depan sebuah bangunan. Bangunan ini tidak lebih dari
empat meter persegi, begitu kecil dan tertutup. Hanya ada satu jendela untuk
celah keluar masuknya udara. Sudah pasti, ruangan ini begitu pengap. Dindingnya
begitu kusam dengan cat yang sudah mulai mengelupas. Bangunan ini masih sama,
namun ada satu yang berbeda. Garis kuning bertuliskan “DILARANG MELINTAS GARIS
POLISI” terlihat mengelilingi setiap sisi bangunan tersebut. Garis itu,
penggrebekan itu, teriakan itu, suara tembakan itu, paksaan itu masih terekam
jelas olehku.
Tempat
ini dulunya adalah bangunan yang tak ada artinya. Bangunan ini ditinggal begitu
saja oleh pemiliknya sebelum semuanya selesai. Dan di situlah aku saat itu,
bangunan yang dulunya tidak berguna itu dijadikan markas tempat kami berkumpul.
Hampir semua aktifitas kami lakukan di tempat ini. Termasuk memakai barang itu.
Sudah
sebulan lebih peristiwa itu berlalu tapi semuanya masih terekam jelas di
ingatanku. Bahkan awal dari semua ini terjadi saja aku masih ingat. Sahabatku, Ervin,
ia dulunya adalah anak yang baik, tak pernah sekalipun terlintas di fikiranku,
jika Ervin akan melakukan hal ini. Hingga masalah yang cukup berat mulai
menimpanya, keluarganya berpisah tanpa alasan yang jelas. Hal itulah yang membuatnya
terpuruk. Dan pada saat itulah mereka datang. Mereka adalah Arkan dan Ata,
penyebab semua ini terjadi. Bujuk rayuan Arkan pada saat itu berhasil
menggoyahkan pertahanan Ervin.
***
Ervin
mengambil sebuah rokok kemudian menyalakannya. “Van, lo masih nggak mau makai?”
“Nggak
asik banget sih lo jadi cowok.” Arkan ikut bersuara kemudian duduk di sebelah Ervin.
Aku
menatap keduanya malas. “Buat apa aku makai? Emang ada untungnya? Mati, iya.”
“Lo
lihat kita? Buktinya kita masih hidup kan?” Arkan tersenyum sinis. “Makai ataupun
enggak kita tetep bakal mati!” Arkan merebut bungkus rokok dari tangan Ervin.
“Ata
mana?” tanya Ervin di sela ia menghisap rokoknya.
“Lagi
beli barang.” Jawab Arkan sambil tersenyum penuh arti.
Aku
berdecak heran. “Kalian masih beli barang itu? Uang siapa lagi yang kalian
pakai?”
“Duit
bapak lo, ya duit bapaknya Ata lah.” jawab Ervin ketus.
“Apa sih untungnya
makai barang itu?” kataku.
Ervin
menatapku tajam. “Lo mau tahu untungnya? Ar, kasih! Lo masih nyimpen kan?”
“Pas
banget! Gue masih ada satu.” Arkan merogoh-rogoh tasnya mencari sesuatu.
“Pakai! Dan lo bakal tahu apa untungnya!” Arkan menyerahkan sebuah pil kepada
ku. Namun aku menepisnya, dengan sekejap pil itu terlempar dan jatuh ke lantai.
“Lo
pikir itu barang murah? Sampai lo buang gitu? Uang jajan lo sebulan aja nggak
cukup buat beli itu!” Ervin berdiri, terlihat jelas sorot matanya penuh
kemarahan.
“Justru
karna itu aku nggak mau makai narkoba! Nggak ada untungnya! Cuma ngabisin
duit!”
***
Percakapan
pada saat itu menggema di telingaku. Aku tersenyum miris, ya begitulah yang
terjadi. Ata mencuri uang ayahnya hanya untuk membeli barang yang tak berguna
itu. Masih teringat jelas, saat mereka tidak bisa mengendalikan tubuhnya lagi
pada saat itu. Mereka berteriak-teriak, meraung-raung, dan bahkan menangis. Dan
kau tahu apa yang aku lakukan saat itu? Hanya diam, tak berbuat apa-apa. Aku
tidak mengerti. Jika kau mengatai aku bodoh, ya aku memang bodoh! Namun, di
saat Ata datang dan menyerahkan barang itu, semuanya kembali seperti semula.
Wajah mereka berubah cerah, ceria, seperti tak ada beban yang menghinggapi
tubuhnya. Ervin, jika aku dulu lebih dulu datang daripada Arkan, pasti semua
ini tidak akan terjadi. Jika kau dulu percaya dengan perkataanku, pasti semua
ini tidak akan terjadi. Namun sayang, semua itu hanya jika.
“Vano!
Bagaimana hasilnya?” suara yang khas itu mennyadarkanku. Aku menengok
kebelakang, oh ternyata Ziza.
“Bersih!”
aku tersenyum puas. Oh iya, sebelum ke tempat ini, aku sebelumnya telah
melakukan pemeriksaan penggunaan narkoba.
Ziza
tersenyum penuh kelegaan, ia menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga.
“Kamu kok bisa nggak makai narkoba? Padahal teman-temanmu pecandu semua.” Ziza
menatapku heran.
“Karna,
aku bukan mereka.” aku tersenyum. “Ketika kita sudah mengenali diri kita,
seburuk apapun lingkungan kamu, sekejam apapun, seindah apapun rayuan mereka,
kamu tetap akan menjadi diri kamu sendiri. Ketika kamu memahami diri kamu
sendiri, sekuat apapun kamu ingin, hati kamu pasti akan menolak.”
“Aku
boleh tanya? Sebenarnya siapa dalang dari semua ini? Ata?” Ziza menatapku penuh
selidik.
“Arkan,
bukan Ata. Ata itu korban, dia dimanfaatkan. Dan Ervin, dia juga korban.” aku menghembuskan
nafas kasar. “Yang aku tau waktu itu Ervin frustasi karna masalah yang ada di
keluarganya. Saat itu Arkan datang. Dan ya, Ervin makai narkoba itu sebagai
pelampiasan.”
Ziza
mengangguk mengerti “Lucu ya,”
“Kok
lucu?” Vano mengerutkan dahi.
“Banyak
orang yang sakit ingin sembuh dari penyakitnya, tapi mereka yang sehat malah merusak
badan mereka dengan sengaja.” Ziza tersenyum miris.
Narkoba,
bukanlah solusi dari sebuah masalah. Ia tidak akan dapat menghilangkan
masalahmu, namun sebaliknya, ia akan menambah berat masalahmu. Jangan pelampiaskan
masalahmu ke hal yang negatif, karna itu tidak akan merubah keadaan.
Pelampiaskanlah masalahmu ke hal yang positif. Paling tidak, seandainya masalah
itu tidak dapat diselesaikan, masih ada hal lain yang dapat kamu banggakan.
Solusi dari sebuah masalah itu adalah diri kita sendiri.