Senin, 25 April 2016

Perbedaan itu, Kekayaan Dunia

Perbedaan itu, Kekayaan Dunia

Sebelumnya, cerpen ini pernah dimuat di majalah sekolah (lagi). tapi gak papalah ya aku pos di sini juga. Haha! oke happy reading!
***
Aku Virgi, dan mungkin aku adalah satu-satunya orang yang membenci, dan mengkritisi perbedaan. Segala perbedaan. Pernahkah kau berfikir tentang hal yang sebenarnya tidak perlu kau fikirkan? Mungkin pernah, tapi tak sesering aku.
            Oh ya, sebelumnya, aku saat ini tidak akan menulis tentang suatu cerita, atau kisah hidupku, tidak. Aku akan menuliskan beberapa pemikiranku tentang perbedaan. Terserah, kau akan menyukainya atau tidak. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin menuliskan apa yang aku inginkan, bukan apa yang kau sukai. Tapi, aku berharap kau bisa memetik sebuah pelajaran setelah membaca ini, semoga.
“Banyak orang bilang perbedaan itu indah, perbedaan itu saling melengkapi. Tapi, jika perbedaan itu indah, dan ada untuk saling melengkapi, mengapa  pertengkaran selalu terjadi dengan alasan perbedaan? Mengapa?” aku pernah menanyakan hal itu pada temanku, dan kau tahu temanku menjawab apa? Katanya, “Bukan perbedaan yang menjadi alasan terjadinya pertengkaran, tapi keegoisan, Gi. Karna buktinya, banyak orang yang berdamai, padahal sebelumnya alasan mereka bertengkar adalah perbedaan. Tinggal gimana pintarnya kita ngatur keegoisan kita aja.” Mari kita beri tepuk tangan yang meriah pada temanku, yang tak bisa ku sebutkan namanya di sini. Malu, katanya.
Ketika mendengar kata “Perbedaan” apa yang pertama kali kau fikirkan? Mungkin kau akan berfikir tentang adanya orang miskin dan kaya, atau adanya orang yang terlahir dengan kulit putih dan hitam. Aku akan membahas soal itu nanti, tapi sebelumnya apa kau tahu apa yang aku fikirkan pertama kali ketika mendengar kata itu? Agama.
Karna, percaya atau tidak, keluargaku terdiri dari banyak keyakinan, yang tak bisa aku sebutkan. Dan aku pernah menanyakan suatu hal pada kakakku, saat itu aku masih SMP dan kakakku sudah kuliah, semester empat kalau tidak salah. Oh ya, ia seorang laki-laki, namanya Azio. Saat itu kami sedang menonton tv bersama, dan hanya ada aku dan kakakku saja. Di sofa hijau tempat kami duduk, ditemani suara Doaremon yang sedang bertengkar dengan Nobita, tiba tiba aku bertanya pada kakakku.
“Kak, jika Tuhan ingin disembah melalui satu ajaran, kenapa Dia mengizinkan banyak ajaran ada di dunia?” aku ingatkan kembali saat itu aku masih SMP. Dan bisa kau bayangkan betapa gilanya seorang anak SMP kelas satu bisa bertanya hal seperti itu. Hahahaha! Aku pun tak habis fikir dengan diriku sendiri.
Kakakku diam sejenak, seolah berfikir. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menghembuskan nafas kasar, kemudian berkata, “Karna mungkin Tuhan....” ia kembali berfikir, dan setelah itu ia diam, tidak menjawab pertanyaanku. Dan sampai saat inipun, aku masih mencari jawaban tentang pertanyaan itu.
“Kenapa kita nggak bisa melihat Tuhan?” tanyaku kembali.
Saat itu, kakakku tidak diam. Ia dengan cepat menjawab, “Karna, Tuhan itu adil. Kalau kita dapat melihat Tuhan, bagaimana dengan mereka yang buta?”
Lalu beberapa hari setelah itu, aku kembali bertanya pada kakakku, “Kak, sebenarnya Tuhan itu ada berapa?”
Dengan cepat dan yakin, kakak ku menjawab “Ada satu, Arsen.”
“Kalau cuma ada satu, kenapa aku dan kakak panggil Tuhan dengan nama yang berbeda?” tanyaku kembali.
Kakak ku tersenyum.
“Begini Arsen... nama lengkapmu Arsenio Virgi kan? Tapi kakak panggil kamu Arsen, Ibu panggil kamu Adek, dan teman-temanmu panggil kamu Virgi. Menurut kamu, Arsennya jadi ada berapa?”
Dengan keras aku menjawab, “Tetap satu!”
“Tuhan juga seperti itu, Arsen. Apapun nama yang kita pakai untuk menyebut Dia, Tuhan tetap satu.”
Aku tersenyum, mengerti. Kakakku pintar!
Tuhan itu satu. Jadi, kita tidak perlu menyalahkan orang lain tentang kepercayaan yang ia anut. Tidak perlu memahami, hanya cukup menghormati, menghargai dan tidak menghakimi. Tidak perlu adanya perang, debat, atau apapun. Tidak perlu. Tidak usah. Meyakini dan memeluk suatu agama adalah hak setiap orang.
 Namun, kemarin aku melewati suatu tempat ibadah, dan saat itu juga aku merasa sedih. Aku sedih, aku kecewa, aku malu, aku marah dengan generasiku saat ini. Kau tahu apa yang aku lihat? Di gerbang tempat ibadah itu terdapat tulisan yang tidak pantas, sama sekali tidak pantas. Aku tak akan memberitahu apa tulisan tersebut, karna pasti kau bisa mengira-ira sendiri. Tulisan itu dibuat dengan cat semprot warna putih, dengan ukuran yang besar dan jelas. Aku tak mengerti, untuk apa orang itu membuat tulisan itu? Untuk apa? Untuk menunjukan bahwa ia yang paling benar? Kalau tujuannya untuk itu, berarti ia bodoh. Karna, seorang yang meyakini dan memahami betul tentang kepercayaan yang ia anut, tidak akan berbuat seperti itu.
Tidak perlu menghakimi, tidak perlu munujukkan siapa yang paling benar, dan siapa yang salah, cukup menghormati. Aku yakin, generasi kita cukup cerdas untuk menyikapi hal ini.
Oh ya, aku tadi bilang ingin membahas tentang si miskin dan si kaya, atau si hitam dan si putih ya? Baik, aku akan membahasnya. Waktu itu aku masih SD, kelas tiga kalau tidak salah ingat. Aku terlahir dengan kulit putih, dan sahabatku, Tere, ia terlahir dengan kulit coklat. Dan saat itu dengan polosnya aku bertanya pada guruku, “Kenapa kulit There berwarna coklat? Apa karna ia suka minum susu coklat? Tapi aku juga suka susu coklat, tapi kenapa kulitku putih Bu?”
Guruku tertawa, kemudian ia menjawab “Bukan karna susu! Tapi karna, pigmen. Jumlah pigmen dalam tubuh manusia berbeda-beda. Semakin banyak pigmen dalam kulit kita, maka warna kulit kita akan semakin gelap.”
Namun, semua orang tidak berpikir sama seperti beliau. Zaman sekarang perbedaan fisik selalu dieratkan dengan bullying. Padahal semua manusia itu sama, semua makhluk hidup itu sama, sama-sama ciptaan Tuhan. Lalu untuk apa bullying? Untuk menunjukkan siapa yang kuat dan siapa yang lemah? Memangnya kalau kau kuat, kau mau apa? Memangnya kalau mereka memang lemah, apa harus dengan cara seperti itu kau mengungkapkannya? Aku fikir generasi kita cukup cerdas, tapi nyatanya, belum.
Kenapa Tuhan menciptakan si miskin dan si kaya?
Karna Tuhan ingin tahu, apa si kaya akan memberikan sebagian hartanya pada si miskin, atau malah menghabiskannya untuk dirinya sendiri. Dan untuk mereka yang kurang beruntung, karna tuhan sedang menguji mereka, karna tuhan sedang melihat kemauan mereka. Seberapa besar kemauan mereka untuk merubah nasibnya, seberapa besar usaha mereka. Dan roda pasti berputar. Suatu hari nanti, bisa saja si kaya akan berubah menjadi si miskin. Dan sebaliknya, bisa saja karna kemauan dan usahanya si miskin bisa berubah menjadi si kaya. Jadi, jangan pernah menyombongkan hartamu, karna itu tidak sepenuhnya milikmu.
            Jangan pernah bilang Tuhan itu nggak adil. Tuhan itu adil, karna sama-sama nggak adil untuk semua.

Mungkin sudah dulu tulisanku saat ini, mengingat masih banyak tugas sekolah yang masih harus aku kerjakan, dan bahkan adikku sedang menangis malam-malam begini. Hebat.
Read Comments

Rabu, 20 Januari 2016

Karna, Aku bukan Mereka

Sebelumnya, ini pernah dimuat di majalah sekolah. tapi gak papalah ya aku pos di sini juga. Haha! oke happy reading!
***
Pernahkah kau merasakan rasa penyesalan yang begitu dalam? Kau tahu? Kini aku sedang merasakannya. Jika aku boleh memutar waktu, aku ingin merubah semuanya menjadi baik-baik saja.
***
            Saat ini aku sedang berdiri di depan sebuah bangunan. Bangunan ini tidak lebih dari empat meter persegi, begitu kecil dan tertutup. Hanya ada satu jendela untuk celah keluar masuknya udara. Sudah pasti, ruangan ini begitu pengap. Dindingnya begitu kusam dengan cat yang sudah mulai mengelupas. Bangunan ini masih sama, namun ada satu yang berbeda. Garis kuning bertuliskan “DILARANG MELINTAS GARIS POLISI” terlihat mengelilingi setiap sisi bangunan tersebut. Garis itu, penggrebekan itu, teriakan itu, suara tembakan itu, paksaan itu masih terekam jelas olehku.
            Tempat ini dulunya adalah bangunan yang tak ada artinya. Bangunan ini ditinggal begitu saja oleh pemiliknya sebelum semuanya selesai. Dan di situlah aku saat itu, bangunan yang dulunya tidak berguna itu dijadikan markas tempat kami berkumpul. Hampir semua aktifitas kami lakukan di tempat ini. Termasuk memakai barang itu.
            Sudah sebulan lebih peristiwa itu berlalu tapi semuanya masih terekam jelas di ingatanku. Bahkan awal dari semua ini terjadi saja aku masih ingat. Sahabatku, Ervin, ia dulunya adalah anak yang baik, tak pernah sekalipun terlintas di fikiranku, jika Ervin akan melakukan hal ini. Hingga masalah yang cukup berat mulai menimpanya, keluarganya berpisah tanpa alasan yang jelas. Hal itulah yang membuatnya terpuruk. Dan pada saat itulah mereka datang. Mereka adalah Arkan dan Ata, penyebab semua ini terjadi. Bujuk rayuan Arkan pada saat itu berhasil menggoyahkan pertahanan Ervin.
***
            Ervin mengambil sebuah rokok kemudian menyalakannya. “Van, lo masih nggak mau makai?”
            “Nggak asik banget sih lo jadi cowok.” Arkan ikut bersuara kemudian duduk di sebelah Ervin.
            Aku menatap keduanya malas. “Buat apa aku makai? Emang ada untungnya? Mati, iya.”
            “Lo lihat kita? Buktinya kita masih hidup kan?” Arkan tersenyum sinis. “Makai ataupun enggak kita tetep bakal mati!” Arkan merebut bungkus rokok dari tangan Ervin.
            “Ata mana?” tanya Ervin di sela ia menghisap rokoknya.
            “Lagi beli barang.” Jawab Arkan sambil tersenyum penuh arti.
            Aku berdecak heran. “Kalian masih beli barang itu? Uang siapa lagi yang kalian pakai?”
            “Duit bapak lo, ya duit bapaknya Ata lah.” jawab Ervin ketus.
“Apa sih untungnya makai barang itu?” kataku.
            Ervin menatapku tajam. “Lo mau tahu untungnya? Ar, kasih! Lo masih nyimpen kan?”
            “Pas banget! Gue masih ada satu.” Arkan merogoh-rogoh tasnya mencari sesuatu. “Pakai! Dan lo bakal tahu apa untungnya!” Arkan menyerahkan sebuah pil kepada ku. Namun aku menepisnya, dengan sekejap pil itu terlempar dan jatuh ke lantai.
            “Lo pikir itu barang murah? Sampai lo buang gitu? Uang jajan lo sebulan aja nggak cukup buat beli itu!” Ervin berdiri, terlihat jelas sorot matanya penuh kemarahan.
            “Justru karna itu aku nggak mau makai narkoba! Nggak ada untungnya! Cuma ngabisin duit!”
***
            Percakapan pada saat itu menggema di telingaku. Aku tersenyum miris, ya begitulah yang terjadi. Ata mencuri uang ayahnya hanya untuk membeli barang yang tak berguna itu. Masih teringat jelas, saat mereka tidak bisa mengendalikan tubuhnya lagi pada saat itu. Mereka berteriak-teriak, meraung-raung, dan bahkan menangis. Dan kau tahu apa yang aku lakukan saat itu? Hanya diam, tak berbuat apa-apa. Aku tidak mengerti. Jika kau mengatai aku bodoh, ya aku memang bodoh! Namun, di saat Ata datang dan menyerahkan barang itu, semuanya kembali seperti semula. Wajah mereka berubah cerah, ceria, seperti tak ada beban yang menghinggapi tubuhnya. Ervin, jika aku dulu lebih dulu datang daripada Arkan, pasti semua ini tidak akan terjadi. Jika kau dulu percaya dengan perkataanku, pasti semua ini tidak akan terjadi. Namun sayang, semua itu hanya jika.
            “Vano! Bagaimana hasilnya?” suara yang khas itu mennyadarkanku. Aku menengok kebelakang, oh ternyata Ziza.
            “Bersih!” aku tersenyum puas. Oh iya, sebelum ke tempat ini, aku sebelumnya telah melakukan pemeriksaan penggunaan narkoba.
            Ziza tersenyum penuh kelegaan, ia menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. “Kamu kok bisa nggak makai narkoba? Padahal teman-temanmu pecandu semua.” Ziza menatapku heran.
            “Karna, aku bukan mereka.” aku tersenyum. “Ketika kita sudah mengenali diri kita, seburuk apapun lingkungan kamu, sekejam apapun, seindah apapun rayuan mereka, kamu tetap akan menjadi diri kamu sendiri. Ketika kamu memahami diri kamu sendiri, sekuat apapun kamu ingin, hati kamu pasti akan menolak.”
            “Aku boleh tanya? Sebenarnya siapa dalang dari semua ini? Ata?” Ziza menatapku penuh selidik.
            “Arkan, bukan Ata. Ata itu korban, dia dimanfaatkan. Dan Ervin, dia juga korban.” aku menghembuskan nafas kasar. “Yang aku tau waktu itu Ervin frustasi karna masalah yang ada di keluarganya. Saat itu Arkan datang. Dan ya, Ervin makai narkoba itu sebagai pelampiasan.”
            Ziza mengangguk mengerti “Lucu ya,”
            “Kok lucu?” Vano mengerutkan dahi.
            “Banyak orang yang sakit ingin sembuh dari penyakitnya, tapi mereka yang sehat malah merusak badan mereka dengan sengaja.” Ziza tersenyum miris.

            Narkoba, bukanlah solusi dari sebuah masalah. Ia tidak akan dapat menghilangkan masalahmu, namun sebaliknya, ia akan menambah berat masalahmu. Jangan pelampiaskan masalahmu ke hal yang negatif, karna itu tidak akan merubah keadaan. Pelampiaskanlah masalahmu ke hal yang positif. Paling tidak, seandainya masalah itu tidak dapat diselesaikan, masih ada hal lain yang dapat kamu banggakan. Solusi dari sebuah masalah itu adalah diri kita sendiri.
Read Comments