Rabu, 20 Januari 2016

Karna, Aku bukan Mereka

Sebelumnya, ini pernah dimuat di majalah sekolah. tapi gak papalah ya aku pos di sini juga. Haha! oke happy reading!
***
Pernahkah kau merasakan rasa penyesalan yang begitu dalam? Kau tahu? Kini aku sedang merasakannya. Jika aku boleh memutar waktu, aku ingin merubah semuanya menjadi baik-baik saja.
***
            Saat ini aku sedang berdiri di depan sebuah bangunan. Bangunan ini tidak lebih dari empat meter persegi, begitu kecil dan tertutup. Hanya ada satu jendela untuk celah keluar masuknya udara. Sudah pasti, ruangan ini begitu pengap. Dindingnya begitu kusam dengan cat yang sudah mulai mengelupas. Bangunan ini masih sama, namun ada satu yang berbeda. Garis kuning bertuliskan “DILARANG MELINTAS GARIS POLISI” terlihat mengelilingi setiap sisi bangunan tersebut. Garis itu, penggrebekan itu, teriakan itu, suara tembakan itu, paksaan itu masih terekam jelas olehku.
            Tempat ini dulunya adalah bangunan yang tak ada artinya. Bangunan ini ditinggal begitu saja oleh pemiliknya sebelum semuanya selesai. Dan di situlah aku saat itu, bangunan yang dulunya tidak berguna itu dijadikan markas tempat kami berkumpul. Hampir semua aktifitas kami lakukan di tempat ini. Termasuk memakai barang itu.
            Sudah sebulan lebih peristiwa itu berlalu tapi semuanya masih terekam jelas di ingatanku. Bahkan awal dari semua ini terjadi saja aku masih ingat. Sahabatku, Ervin, ia dulunya adalah anak yang baik, tak pernah sekalipun terlintas di fikiranku, jika Ervin akan melakukan hal ini. Hingga masalah yang cukup berat mulai menimpanya, keluarganya berpisah tanpa alasan yang jelas. Hal itulah yang membuatnya terpuruk. Dan pada saat itulah mereka datang. Mereka adalah Arkan dan Ata, penyebab semua ini terjadi. Bujuk rayuan Arkan pada saat itu berhasil menggoyahkan pertahanan Ervin.
***
            Ervin mengambil sebuah rokok kemudian menyalakannya. “Van, lo masih nggak mau makai?”
            “Nggak asik banget sih lo jadi cowok.” Arkan ikut bersuara kemudian duduk di sebelah Ervin.
            Aku menatap keduanya malas. “Buat apa aku makai? Emang ada untungnya? Mati, iya.”
            “Lo lihat kita? Buktinya kita masih hidup kan?” Arkan tersenyum sinis. “Makai ataupun enggak kita tetep bakal mati!” Arkan merebut bungkus rokok dari tangan Ervin.
            “Ata mana?” tanya Ervin di sela ia menghisap rokoknya.
            “Lagi beli barang.” Jawab Arkan sambil tersenyum penuh arti.
            Aku berdecak heran. “Kalian masih beli barang itu? Uang siapa lagi yang kalian pakai?”
            “Duit bapak lo, ya duit bapaknya Ata lah.” jawab Ervin ketus.
“Apa sih untungnya makai barang itu?” kataku.
            Ervin menatapku tajam. “Lo mau tahu untungnya? Ar, kasih! Lo masih nyimpen kan?”
            “Pas banget! Gue masih ada satu.” Arkan merogoh-rogoh tasnya mencari sesuatu. “Pakai! Dan lo bakal tahu apa untungnya!” Arkan menyerahkan sebuah pil kepada ku. Namun aku menepisnya, dengan sekejap pil itu terlempar dan jatuh ke lantai.
            “Lo pikir itu barang murah? Sampai lo buang gitu? Uang jajan lo sebulan aja nggak cukup buat beli itu!” Ervin berdiri, terlihat jelas sorot matanya penuh kemarahan.
            “Justru karna itu aku nggak mau makai narkoba! Nggak ada untungnya! Cuma ngabisin duit!”
***
            Percakapan pada saat itu menggema di telingaku. Aku tersenyum miris, ya begitulah yang terjadi. Ata mencuri uang ayahnya hanya untuk membeli barang yang tak berguna itu. Masih teringat jelas, saat mereka tidak bisa mengendalikan tubuhnya lagi pada saat itu. Mereka berteriak-teriak, meraung-raung, dan bahkan menangis. Dan kau tahu apa yang aku lakukan saat itu? Hanya diam, tak berbuat apa-apa. Aku tidak mengerti. Jika kau mengatai aku bodoh, ya aku memang bodoh! Namun, di saat Ata datang dan menyerahkan barang itu, semuanya kembali seperti semula. Wajah mereka berubah cerah, ceria, seperti tak ada beban yang menghinggapi tubuhnya. Ervin, jika aku dulu lebih dulu datang daripada Arkan, pasti semua ini tidak akan terjadi. Jika kau dulu percaya dengan perkataanku, pasti semua ini tidak akan terjadi. Namun sayang, semua itu hanya jika.
            “Vano! Bagaimana hasilnya?” suara yang khas itu mennyadarkanku. Aku menengok kebelakang, oh ternyata Ziza.
            “Bersih!” aku tersenyum puas. Oh iya, sebelum ke tempat ini, aku sebelumnya telah melakukan pemeriksaan penggunaan narkoba.
            Ziza tersenyum penuh kelegaan, ia menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. “Kamu kok bisa nggak makai narkoba? Padahal teman-temanmu pecandu semua.” Ziza menatapku heran.
            “Karna, aku bukan mereka.” aku tersenyum. “Ketika kita sudah mengenali diri kita, seburuk apapun lingkungan kamu, sekejam apapun, seindah apapun rayuan mereka, kamu tetap akan menjadi diri kamu sendiri. Ketika kamu memahami diri kamu sendiri, sekuat apapun kamu ingin, hati kamu pasti akan menolak.”
            “Aku boleh tanya? Sebenarnya siapa dalang dari semua ini? Ata?” Ziza menatapku penuh selidik.
            “Arkan, bukan Ata. Ata itu korban, dia dimanfaatkan. Dan Ervin, dia juga korban.” aku menghembuskan nafas kasar. “Yang aku tau waktu itu Ervin frustasi karna masalah yang ada di keluarganya. Saat itu Arkan datang. Dan ya, Ervin makai narkoba itu sebagai pelampiasan.”
            Ziza mengangguk mengerti “Lucu ya,”
            “Kok lucu?” Vano mengerutkan dahi.
            “Banyak orang yang sakit ingin sembuh dari penyakitnya, tapi mereka yang sehat malah merusak badan mereka dengan sengaja.” Ziza tersenyum miris.

            Narkoba, bukanlah solusi dari sebuah masalah. Ia tidak akan dapat menghilangkan masalahmu, namun sebaliknya, ia akan menambah berat masalahmu. Jangan pelampiaskan masalahmu ke hal yang negatif, karna itu tidak akan merubah keadaan. Pelampiaskanlah masalahmu ke hal yang positif. Paling tidak, seandainya masalah itu tidak dapat diselesaikan, masih ada hal lain yang dapat kamu banggakan. Solusi dari sebuah masalah itu adalah diri kita sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar