sebelumnya, cerpen ini terinspirasi dari lagu yang berjudul "Mereka", bisa di dengarkan di sini. Mikha Angelo - Mereka
***
Bus yang kami naiki berhenti pada suatu rumah.
Pagarnya tinggi menjulang, di setiap sisi pagarnya banyak sekali hiasan seperti
tempelan-tempelan origami. Aku mendongakkan kepala ku ke atas, di atas sana
tertulis “Rumah Singgah Ceria”. Aku tak merasa asing dengan tempat ini, aku
seperti pernah mengunjungi tempat ini namun entah kapan. Di depan kami berdiri
seorang wanita paruh baya, dia tersenyum menyambut kedatangan kami.
“Mari,
silakan masuk.” Ibu itu tersenyum, kemudian kami sibuk berjabat tangan.
“Jadi,
rumah singgah ini sudah berdiri sejak delapan tahun yang lalu. Sampai saat ini
sudah banyak sekali anak-anak yang tinggal di rumah ini.” jelasnya sambil
berjalan mendahulu kami. Kami mengekor dari belakang.
Aku
dan teman-teman yang lainnya sedang mengadakan acara bakti sosial di sebuah
rumah singgah penderita kanker. Rumah ini tak begitu besar, sederhana, namun
terlihat nyaman. di dindingnya penuh dengan karya, seperti kerajinan, lukisan,
coretan-coretan, origami, bunga-bunga dari sedotan, dan masih banyak lagi. Aku
yakin ini semua pasti hasil karya tangan para anak-anak hebat itu.
Aku
menghirup nafas, masih tak percaya. Mereka, penderita kanker yang biasanya
hanya aku lihat di dunia maya, atau menonton kisahnya di sebuah film, atau
membacanya di sebuah novel, kini sedang tersenyum di hadapan kami. Aku membalas
senyum mereka penuh semangat.
Raga
mereka sakit, namun jiwa mereka tidak. Wajah mereka pucat, namun senyum mereka
tetap cerah. Raga mereka lemah, namun hati mereka kuat. Hati mereka mungkin
menangis, namun mata mereka tak menampakkan kesedihan.
Kebetulan
dalam acara ini, aku berkesempatan untuk menjadi pembawa acara. Rasanya gugup,
di saat kita terbisa menghadapi penonton yang sehat, namun saat ini kita sedang
menghadapi penonton yang sebenarnya sakit tetapi tetap berusaha untuk terlihat
sehat.
“
Halloo!!! Sebelumnya perkenalkan namaku Ditya, Kami dari SMA Cakrawala, hari ini, di siang yang cerah ini, eh cerah gak sih? Ya anggap aja cerah ya, walaupun sedikit mendung.” Aku tertawa. Garing. Bagus. “Mendung juga gak berpengaruh, kan kita ada di dalam ruangan. Jadi kami akan tetap menghibur kalian semuaaa! Mana teriakannya woooo!!!” aku berseru semangat.
Halloo!!! Sebelumnya perkenalkan namaku Ditya, Kami dari SMA Cakrawala, hari ini, di siang yang cerah ini, eh cerah gak sih? Ya anggap aja cerah ya, walaupun sedikit mendung.” Aku tertawa. Garing. Bagus. “Mendung juga gak berpengaruh, kan kita ada di dalam ruangan. Jadi kami akan tetap menghibur kalian semuaaa! Mana teriakannya woooo!!!” aku berseru semangat.
“Jadi,
sebelum ke puncak acara, kita persilakan terlebih dahulu sang ketua panitia
untuk memberikan sambutan. Yok mari
Mas, waktu saya persilakan.” Aku turun dari panggung, kemudian digantikan oleh Adit yang menjabat sebagai ketua panitia dalam acara ini. Aku mendekati para anak-anak dan berbaur dalam rombongan mereka.
Mas, waktu saya persilakan.” Aku turun dari panggung, kemudian digantikan oleh Adit yang menjabat sebagai ketua panitia dalam acara ini. Aku mendekati para anak-anak dan berbaur dalam rombongan mereka.
“Hai!
Aku kemarin ketemu kamu! Kamu kemarin pakai wig?” tanyaku pada anak perempuan
itu. Seminggu yang lalu, aku melihatnya di sebuah acara penggalangan dana untuk
penderita kanker. Saat itu rambutnya lurus sebahu namun sekarang sudah tidak
lagi.
“Rambutku
rontok, karna kemoterapi lima hari yang lalu.” Anak perempuan itu tersenyum,
namun kesedihan sangat terlihat pada sorot matanya. Aku begitu terkejut
mendengarnya.
“Nama
kamu siapa?”tanyaku sambil mengulurkan tangan.
“Cessa
Kak.” jawabnya sambil membalas uluran tanganku.
“Oya,
aku dengar-dengar acara yang kemarin itu berhasil mengumpulkan uang dua ratus
juta loh! Semoga bisa membantu penyembuhan penyakit kamu dan teman-teman ya!”
kataku. Cessa mengangguk semangat.
“Semoga
kak.” balasnya.
“Sebentar
ya.” Aku pamit pada segerombolan anak yang ada di dekatku, kemudian berjalan
menaiki panggung.
“Ekhem!
–Aku bertepuk tangan mencari perhatian- Oke sekarang aku mau mempersembahkan
sesuatu untuk kalian semua!” anak-anak di depanku mulai berbisik-bisik antusias.
“Sekarang,
kalian boleh nengok ke belakang!” semuanya spontan menengok ke belakang. Di
belakang sana berdiri sebuah grupband lokal yang namanya sudah tak asing lagi
di telinga kami.
“WAH!!
HOPE BAND!!” seorang anak berteriak kegirangan. Personil Hope Band segera
berjalan ke panggung. Lalu menjabat tanganku.
“Hallo!!
Kita semua senang bisa berkunjung ke sini, bertemu kalian, para anak-anak yang
hebat. Ada yang sudah kenal kami?” tanya sang vokalis yang membawa gitar itu.
“Hope
Band!!” teriak anak-anak.
“Wah!
Ternyata kita cukup dikenal! Haha oya yang belum tau kita, ini aku Vano di
vocal, dan ini Stevent sebagai bassist, dan yang itu Falen sebagai gitaris, dan
yang di belakang sana, itu drummer kita namanya Elle, tapi sekarang dia main
cajon bukan drum! Karna kita susah bawanya! Haha!” kata Vano memperkenalkan
diri. Dan kulihat Elle tertawa di atas cajonnya.
“Seperti
nama band kita, Hope Band, semoga kita bisa membawa harapan bagi kalian semua.”
kata Falen. “One.. Two.. Three.. go..” hitungnya.
Intro
lagu ini sudah tak asing lagi di telinga ku. Sayap Pelindungmu dari band The
Overtunes. Ku dengar anak-anak itu ikut bernyanyi semangat. Tak jarang mereka
tertawa di sela-sela bernyanyi, dan itu karna ulah panitia lain yang menjaili
para personil Hope Band. Seperti saat ini, tiba-tiba seorang panitia laki-laki
berlari kemudian menyelipkan bunga di telinga Vano. Kami semua tertawa
melihatnya, termasuk para personil Hope Band itu sendiri.
“Kapanpun
mimpi terasa jauh, oh, ingatlah sesuatu, ku akan selalu jadi sayap pelindugmu..
saat duniamu mulai pudar dan kau merasa hilang, ku akan selalu jadi sayap
pelindungmu..”
Setelah
menyanyikan beberapa lagu, hope band kemudian turun dan berbaur dengan
anak-anak. Kini di atas panggung telah di isi oleh pentas teater dari sekolah
kami. Tapi tak disangka Falen berjalan ke arahku kemudian duduk di sampingku.
“Falen.
Siapa?” tanyanya.
“Ditya.”
aku tersenyum. Canggung.
“Makasih
ya udah undang kita.” Falen tersenyum. Kemudian mengobrol dengan anak-anak di
sekeliling kami.
“Dit,
kamu pernah gak sih mikir kalau kamu bukan siapa-siapa?” tanya Falen tiba-tiba.
Jangan tanya gimana keadaanku, aku kaget setengah mati.
“Pernah,
kenapa?” tanyaku balik.
“Tapi
lihat deh mereka, mereka punya beban di hidupnya, mereka pasti gak pernah mau
buat ngerasain itu semua.”
“Iyalah,
mana ada yang mau sakit kanker.” aku berbicara pelan.
“Kamu
ngerasa gak sih kalau sebenarnya kita itu beruntung? Kita sehat, bahagia, hidup
berkecukupan, sedangkan mereka? Mereka punya beban yang berat di balik
tawanya.”
Aku
diam tak bereaksi.
“Kita
harusnya lebih banyak bersyukur sama Tuhan. Karna kita dipilih untuk tidak
merasakan penyakit itu.” kata Falen, matanya menerawang. “Aku jadi mau nyampein
sesuatu sama mereka, Ikut yuk!” Falen tiba-tiba menggandeng tanganku dan
membawaku ke depan panggung. Rasanya? Antara gugup dan canggung. Kita mau
ngapain?
“Hallo!
Masih ingat namaku?” tanyanya semangat di balik mic.
“Kak
Falen!”
“Yap
betul! Jujur aku dan mungkin semua yang ada di sini kagum banget sama kalian,
dan kita juga banyak belajar dari kalian.” Falen berhenti sebentar, menarik
nafas.
“Hati
manusia pasti gak akan diam gitu aja. Kita mungkin memang terlahir berbeda.
Tapi dengan perbedaan itu kita saling melengkapi, saling menemani.” katanya,
kuliahat ada sedikit jeda.
“Dan
kalau mimpi kalian terasa jauh untuk digapai, coba lihatlah ke sekeliling
kalian masih banyak orang yang peduli sama kalian, sayang sama kalian.” kataku,
Falen tersenyum.
“Yakinlah,
kita gak bakal ninggalin kalian sendiriuntuk ngelawan monster itu. Kita akan
ikut ngelawan monster itu. Kalian gak sendiri! Kita bakal lalui semuanya
bareng-bareng!” kataku. Anak-anak itu diam mendengarkan, dan tak sedikit juga
yang hampr menangis.
“Mungkin
kita emang gak punya kuasa, mungkin kita gak bisa berbuat apa-apa. Kita memang
bukan Tuhan yang tiba-tiba bisa mengusir monster itu. Mungkin emang cuma kalian
yang bisa ngelawan monster itu. Kalian jangan mau kalah sama monster itu!
Kalian harus berjuang buktikan kalau kalian memang kuat dan hebat!” kata Falen.
Terlihat semburat kesedihan di dalam matanya.
“Moster
itu bukan halangan kalian untuk meraih mimpi. Kalian tetap punya kesempatan
yang sama, seperti kita.” sambungnya.
“Tetaplah
tersenyum, percaya sama diri kalian kalau kalian akan sembuh. Kita semua di
sini dukung kalian, orang tua kalian, para ibu asuh kalian, dokter, aku, Vano,
Elle, Stevent, Ditya, dan panitia yang lain.”
“Intinya
tetap semangat, dan jangan pernah merasa sendiri! Duh Len, kenapa jadi sedih
gini sih?” aku tertawa walaupun terlihat terpaksa.
“Len
sehat? Gila itu bukan lo banget man!” Elle dari belakang sana berteriak
diselangi tawa.
“Ya
mungkin ada monster baik yang tiba-tiba masuk ke tubuh aku, dan kemudian
mengambil sisi buruk ku.” Falen tertawa. Padahal sama sekali tidak ada yang
lucu.
“Apaan
sih Len! Jayus!” Stevent berteriak dari seberang sana.
“Sorakin
Kak Falen WOOO!!!” aku berseru lalu diikuti oleh sorakan anak-anak. Falen
nyengir memperlihatkan giginya.
“Kak
Falen ini merusak suasana ya. Yang harusnya kita bahagia malah dibikin nangis
gini.. hmm enaknya Kak Falen diapain ya?” Tanyaku sambil menatap jail Falen.
“HUKUM!!!”
dari sisi yang berbeda semua personil Hope Band berteriak bersamaan. Aku
tertawa.
“Enaknya
dihukum apa nih?” tanyaku jail. “Gimana kalau kita main truth or dare aja? Jadi
sebenarnya kita sudah menyiapkan sebuah undian, dan semua nama kalian ada di
sini, Termasuk nama para personil Hope Band, pengisi acara, dan panitia. Dan
namaku gak ada di sini! Yey!” aku tertawa penuh kemenangan.
“Apaan!
Gak adil banget! Apaan!” kata Falen kesal. Aku tertawa kemudian menjulurkan
lidah mengejek.
“Dan
untuk korban awalnya adalah Kak Falen! Dan sebagai hukuman, Kak Falen harus
pilih dare!” aku tertawa puas. “Ada yang mau usul?” tanyaku.
“Nyanyi
dangdut sambil goyang!” Adit berteriak dari kumpulan para panitia.
“Yok
mari Mas Falen, Monggo!” kataku sambl tertawa puas.
“Tarik
maaang!”
Acara
kembali heboh dan menyenangkan. Kami semua bercanda tawa, bahagia. Rasanya aku
ingin mereka terus seperti ini, terus tertawa tanpa adanya beban, tanpa adanya
obat, tanpa adanya rasa sakit setelah kemoterapi. Tapi aku tau, mereka
sebenarnya orang-orang yang terpilih, orang-orang yang istimewa. Mereka dipilih
karna Tuhan yakin mereka kuat, mereka bisa, dan mereka mampu menghadapi
semuanya. Tuhan, aku bersyukur pada-Mu atas semua yang telah Kau berikan
kepadaku.
-Tamat-