RSS

Senin, 25 April 2016

Perbedaan itu, Kekayaan Dunia

Perbedaan itu, Kekayaan Dunia

Sebelumnya, cerpen ini pernah dimuat di majalah sekolah (lagi). tapi gak papalah ya aku pos di sini juga. Haha! oke happy reading!
***
Aku Virgi, dan mungkin aku adalah satu-satunya orang yang membenci, dan mengkritisi perbedaan. Segala perbedaan. Pernahkah kau berfikir tentang hal yang sebenarnya tidak perlu kau fikirkan? Mungkin pernah, tapi tak sesering aku.
            Oh ya, sebelumnya, aku saat ini tidak akan menulis tentang suatu cerita, atau kisah hidupku, tidak. Aku akan menuliskan beberapa pemikiranku tentang perbedaan. Terserah, kau akan menyukainya atau tidak. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin menuliskan apa yang aku inginkan, bukan apa yang kau sukai. Tapi, aku berharap kau bisa memetik sebuah pelajaran setelah membaca ini, semoga.
“Banyak orang bilang perbedaan itu indah, perbedaan itu saling melengkapi. Tapi, jika perbedaan itu indah, dan ada untuk saling melengkapi, mengapa  pertengkaran selalu terjadi dengan alasan perbedaan? Mengapa?” aku pernah menanyakan hal itu pada temanku, dan kau tahu temanku menjawab apa? Katanya, “Bukan perbedaan yang menjadi alasan terjadinya pertengkaran, tapi keegoisan, Gi. Karna buktinya, banyak orang yang berdamai, padahal sebelumnya alasan mereka bertengkar adalah perbedaan. Tinggal gimana pintarnya kita ngatur keegoisan kita aja.” Mari kita beri tepuk tangan yang meriah pada temanku, yang tak bisa ku sebutkan namanya di sini. Malu, katanya.
Ketika mendengar kata “Perbedaan” apa yang pertama kali kau fikirkan? Mungkin kau akan berfikir tentang adanya orang miskin dan kaya, atau adanya orang yang terlahir dengan kulit putih dan hitam. Aku akan membahas soal itu nanti, tapi sebelumnya apa kau tahu apa yang aku fikirkan pertama kali ketika mendengar kata itu? Agama.
Karna, percaya atau tidak, keluargaku terdiri dari banyak keyakinan, yang tak bisa aku sebutkan. Dan aku pernah menanyakan suatu hal pada kakakku, saat itu aku masih SMP dan kakakku sudah kuliah, semester empat kalau tidak salah. Oh ya, ia seorang laki-laki, namanya Azio. Saat itu kami sedang menonton tv bersama, dan hanya ada aku dan kakakku saja. Di sofa hijau tempat kami duduk, ditemani suara Doaremon yang sedang bertengkar dengan Nobita, tiba tiba aku bertanya pada kakakku.
“Kak, jika Tuhan ingin disembah melalui satu ajaran, kenapa Dia mengizinkan banyak ajaran ada di dunia?” aku ingatkan kembali saat itu aku masih SMP. Dan bisa kau bayangkan betapa gilanya seorang anak SMP kelas satu bisa bertanya hal seperti itu. Hahahaha! Aku pun tak habis fikir dengan diriku sendiri.
Kakakku diam sejenak, seolah berfikir. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menghembuskan nafas kasar, kemudian berkata, “Karna mungkin Tuhan....” ia kembali berfikir, dan setelah itu ia diam, tidak menjawab pertanyaanku. Dan sampai saat inipun, aku masih mencari jawaban tentang pertanyaan itu.
“Kenapa kita nggak bisa melihat Tuhan?” tanyaku kembali.
Saat itu, kakakku tidak diam. Ia dengan cepat menjawab, “Karna, Tuhan itu adil. Kalau kita dapat melihat Tuhan, bagaimana dengan mereka yang buta?”
Lalu beberapa hari setelah itu, aku kembali bertanya pada kakakku, “Kak, sebenarnya Tuhan itu ada berapa?”
Dengan cepat dan yakin, kakak ku menjawab “Ada satu, Arsen.”
“Kalau cuma ada satu, kenapa aku dan kakak panggil Tuhan dengan nama yang berbeda?” tanyaku kembali.
Kakak ku tersenyum.
“Begini Arsen... nama lengkapmu Arsenio Virgi kan? Tapi kakak panggil kamu Arsen, Ibu panggil kamu Adek, dan teman-temanmu panggil kamu Virgi. Menurut kamu, Arsennya jadi ada berapa?”
Dengan keras aku menjawab, “Tetap satu!”
“Tuhan juga seperti itu, Arsen. Apapun nama yang kita pakai untuk menyebut Dia, Tuhan tetap satu.”
Aku tersenyum, mengerti. Kakakku pintar!
Tuhan itu satu. Jadi, kita tidak perlu menyalahkan orang lain tentang kepercayaan yang ia anut. Tidak perlu memahami, hanya cukup menghormati, menghargai dan tidak menghakimi. Tidak perlu adanya perang, debat, atau apapun. Tidak perlu. Tidak usah. Meyakini dan memeluk suatu agama adalah hak setiap orang.
 Namun, kemarin aku melewati suatu tempat ibadah, dan saat itu juga aku merasa sedih. Aku sedih, aku kecewa, aku malu, aku marah dengan generasiku saat ini. Kau tahu apa yang aku lihat? Di gerbang tempat ibadah itu terdapat tulisan yang tidak pantas, sama sekali tidak pantas. Aku tak akan memberitahu apa tulisan tersebut, karna pasti kau bisa mengira-ira sendiri. Tulisan itu dibuat dengan cat semprot warna putih, dengan ukuran yang besar dan jelas. Aku tak mengerti, untuk apa orang itu membuat tulisan itu? Untuk apa? Untuk menunjukan bahwa ia yang paling benar? Kalau tujuannya untuk itu, berarti ia bodoh. Karna, seorang yang meyakini dan memahami betul tentang kepercayaan yang ia anut, tidak akan berbuat seperti itu.
Tidak perlu menghakimi, tidak perlu munujukkan siapa yang paling benar, dan siapa yang salah, cukup menghormati. Aku yakin, generasi kita cukup cerdas untuk menyikapi hal ini.
Oh ya, aku tadi bilang ingin membahas tentang si miskin dan si kaya, atau si hitam dan si putih ya? Baik, aku akan membahasnya. Waktu itu aku masih SD, kelas tiga kalau tidak salah ingat. Aku terlahir dengan kulit putih, dan sahabatku, Tere, ia terlahir dengan kulit coklat. Dan saat itu dengan polosnya aku bertanya pada guruku, “Kenapa kulit There berwarna coklat? Apa karna ia suka minum susu coklat? Tapi aku juga suka susu coklat, tapi kenapa kulitku putih Bu?”
Guruku tertawa, kemudian ia menjawab “Bukan karna susu! Tapi karna, pigmen. Jumlah pigmen dalam tubuh manusia berbeda-beda. Semakin banyak pigmen dalam kulit kita, maka warna kulit kita akan semakin gelap.”
Namun, semua orang tidak berpikir sama seperti beliau. Zaman sekarang perbedaan fisik selalu dieratkan dengan bullying. Padahal semua manusia itu sama, semua makhluk hidup itu sama, sama-sama ciptaan Tuhan. Lalu untuk apa bullying? Untuk menunjukkan siapa yang kuat dan siapa yang lemah? Memangnya kalau kau kuat, kau mau apa? Memangnya kalau mereka memang lemah, apa harus dengan cara seperti itu kau mengungkapkannya? Aku fikir generasi kita cukup cerdas, tapi nyatanya, belum.
Kenapa Tuhan menciptakan si miskin dan si kaya?
Karna Tuhan ingin tahu, apa si kaya akan memberikan sebagian hartanya pada si miskin, atau malah menghabiskannya untuk dirinya sendiri. Dan untuk mereka yang kurang beruntung, karna tuhan sedang menguji mereka, karna tuhan sedang melihat kemauan mereka. Seberapa besar kemauan mereka untuk merubah nasibnya, seberapa besar usaha mereka. Dan roda pasti berputar. Suatu hari nanti, bisa saja si kaya akan berubah menjadi si miskin. Dan sebaliknya, bisa saja karna kemauan dan usahanya si miskin bisa berubah menjadi si kaya. Jadi, jangan pernah menyombongkan hartamu, karna itu tidak sepenuhnya milikmu.
            Jangan pernah bilang Tuhan itu nggak adil. Tuhan itu adil, karna sama-sama nggak adil untuk semua.

Mungkin sudah dulu tulisanku saat ini, mengingat masih banyak tugas sekolah yang masih harus aku kerjakan, dan bahkan adikku sedang menangis malam-malam begini. Hebat.
Read Comments

Rabu, 20 Januari 2016

Karna, Aku bukan Mereka

Sebelumnya, ini pernah dimuat di majalah sekolah. tapi gak papalah ya aku pos di sini juga. Haha! oke happy reading!
***
Pernahkah kau merasakan rasa penyesalan yang begitu dalam? Kau tahu? Kini aku sedang merasakannya. Jika aku boleh memutar waktu, aku ingin merubah semuanya menjadi baik-baik saja.
***
            Saat ini aku sedang berdiri di depan sebuah bangunan. Bangunan ini tidak lebih dari empat meter persegi, begitu kecil dan tertutup. Hanya ada satu jendela untuk celah keluar masuknya udara. Sudah pasti, ruangan ini begitu pengap. Dindingnya begitu kusam dengan cat yang sudah mulai mengelupas. Bangunan ini masih sama, namun ada satu yang berbeda. Garis kuning bertuliskan “DILARANG MELINTAS GARIS POLISI” terlihat mengelilingi setiap sisi bangunan tersebut. Garis itu, penggrebekan itu, teriakan itu, suara tembakan itu, paksaan itu masih terekam jelas olehku.
            Tempat ini dulunya adalah bangunan yang tak ada artinya. Bangunan ini ditinggal begitu saja oleh pemiliknya sebelum semuanya selesai. Dan di situlah aku saat itu, bangunan yang dulunya tidak berguna itu dijadikan markas tempat kami berkumpul. Hampir semua aktifitas kami lakukan di tempat ini. Termasuk memakai barang itu.
            Sudah sebulan lebih peristiwa itu berlalu tapi semuanya masih terekam jelas di ingatanku. Bahkan awal dari semua ini terjadi saja aku masih ingat. Sahabatku, Ervin, ia dulunya adalah anak yang baik, tak pernah sekalipun terlintas di fikiranku, jika Ervin akan melakukan hal ini. Hingga masalah yang cukup berat mulai menimpanya, keluarganya berpisah tanpa alasan yang jelas. Hal itulah yang membuatnya terpuruk. Dan pada saat itulah mereka datang. Mereka adalah Arkan dan Ata, penyebab semua ini terjadi. Bujuk rayuan Arkan pada saat itu berhasil menggoyahkan pertahanan Ervin.
***
            Ervin mengambil sebuah rokok kemudian menyalakannya. “Van, lo masih nggak mau makai?”
            “Nggak asik banget sih lo jadi cowok.” Arkan ikut bersuara kemudian duduk di sebelah Ervin.
            Aku menatap keduanya malas. “Buat apa aku makai? Emang ada untungnya? Mati, iya.”
            “Lo lihat kita? Buktinya kita masih hidup kan?” Arkan tersenyum sinis. “Makai ataupun enggak kita tetep bakal mati!” Arkan merebut bungkus rokok dari tangan Ervin.
            “Ata mana?” tanya Ervin di sela ia menghisap rokoknya.
            “Lagi beli barang.” Jawab Arkan sambil tersenyum penuh arti.
            Aku berdecak heran. “Kalian masih beli barang itu? Uang siapa lagi yang kalian pakai?”
            “Duit bapak lo, ya duit bapaknya Ata lah.” jawab Ervin ketus.
“Apa sih untungnya makai barang itu?” kataku.
            Ervin menatapku tajam. “Lo mau tahu untungnya? Ar, kasih! Lo masih nyimpen kan?”
            “Pas banget! Gue masih ada satu.” Arkan merogoh-rogoh tasnya mencari sesuatu. “Pakai! Dan lo bakal tahu apa untungnya!” Arkan menyerahkan sebuah pil kepada ku. Namun aku menepisnya, dengan sekejap pil itu terlempar dan jatuh ke lantai.
            “Lo pikir itu barang murah? Sampai lo buang gitu? Uang jajan lo sebulan aja nggak cukup buat beli itu!” Ervin berdiri, terlihat jelas sorot matanya penuh kemarahan.
            “Justru karna itu aku nggak mau makai narkoba! Nggak ada untungnya! Cuma ngabisin duit!”
***
            Percakapan pada saat itu menggema di telingaku. Aku tersenyum miris, ya begitulah yang terjadi. Ata mencuri uang ayahnya hanya untuk membeli barang yang tak berguna itu. Masih teringat jelas, saat mereka tidak bisa mengendalikan tubuhnya lagi pada saat itu. Mereka berteriak-teriak, meraung-raung, dan bahkan menangis. Dan kau tahu apa yang aku lakukan saat itu? Hanya diam, tak berbuat apa-apa. Aku tidak mengerti. Jika kau mengatai aku bodoh, ya aku memang bodoh! Namun, di saat Ata datang dan menyerahkan barang itu, semuanya kembali seperti semula. Wajah mereka berubah cerah, ceria, seperti tak ada beban yang menghinggapi tubuhnya. Ervin, jika aku dulu lebih dulu datang daripada Arkan, pasti semua ini tidak akan terjadi. Jika kau dulu percaya dengan perkataanku, pasti semua ini tidak akan terjadi. Namun sayang, semua itu hanya jika.
            “Vano! Bagaimana hasilnya?” suara yang khas itu mennyadarkanku. Aku menengok kebelakang, oh ternyata Ziza.
            “Bersih!” aku tersenyum puas. Oh iya, sebelum ke tempat ini, aku sebelumnya telah melakukan pemeriksaan penggunaan narkoba.
            Ziza tersenyum penuh kelegaan, ia menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. “Kamu kok bisa nggak makai narkoba? Padahal teman-temanmu pecandu semua.” Ziza menatapku heran.
            “Karna, aku bukan mereka.” aku tersenyum. “Ketika kita sudah mengenali diri kita, seburuk apapun lingkungan kamu, sekejam apapun, seindah apapun rayuan mereka, kamu tetap akan menjadi diri kamu sendiri. Ketika kamu memahami diri kamu sendiri, sekuat apapun kamu ingin, hati kamu pasti akan menolak.”
            “Aku boleh tanya? Sebenarnya siapa dalang dari semua ini? Ata?” Ziza menatapku penuh selidik.
            “Arkan, bukan Ata. Ata itu korban, dia dimanfaatkan. Dan Ervin, dia juga korban.” aku menghembuskan nafas kasar. “Yang aku tau waktu itu Ervin frustasi karna masalah yang ada di keluarganya. Saat itu Arkan datang. Dan ya, Ervin makai narkoba itu sebagai pelampiasan.”
            Ziza mengangguk mengerti “Lucu ya,”
            “Kok lucu?” Vano mengerutkan dahi.
            “Banyak orang yang sakit ingin sembuh dari penyakitnya, tapi mereka yang sehat malah merusak badan mereka dengan sengaja.” Ziza tersenyum miris.

            Narkoba, bukanlah solusi dari sebuah masalah. Ia tidak akan dapat menghilangkan masalahmu, namun sebaliknya, ia akan menambah berat masalahmu. Jangan pelampiaskan masalahmu ke hal yang negatif, karna itu tidak akan merubah keadaan. Pelampiaskanlah masalahmu ke hal yang positif. Paling tidak, seandainya masalah itu tidak dapat diselesaikan, masih ada hal lain yang dapat kamu banggakan. Solusi dari sebuah masalah itu adalah diri kita sendiri.
Read Comments

Rabu, 16 September 2015

Mereka



sebelumnya, cerpen ini terinspirasi dari lagu yang berjudul "Mereka", bisa di dengarkan di sini. Mikha Angelo - Mereka 
***
            Bus yang kami naiki berhenti pada suatu rumah. Pagarnya tinggi menjulang, di setiap sisi pagarnya banyak sekali hiasan seperti tempelan-tempelan origami. Aku mendongakkan kepala ku ke atas, di atas sana tertulis “Rumah Singgah Ceria”. Aku tak merasa asing dengan tempat ini, aku seperti pernah mengunjungi tempat ini namun entah kapan. Di depan kami berdiri seorang wanita paruh baya, dia tersenyum menyambut kedatangan kami.
            “Mari, silakan masuk.” Ibu itu tersenyum, kemudian kami sibuk berjabat tangan.
            “Jadi, rumah singgah ini sudah berdiri sejak delapan tahun yang lalu. Sampai saat ini sudah banyak sekali anak-anak yang tinggal di rumah ini.” jelasnya sambil berjalan mendahulu kami. Kami mengekor dari belakang.
            Aku dan teman-teman yang lainnya sedang mengadakan acara bakti sosial di sebuah rumah singgah penderita kanker. Rumah ini tak begitu besar, sederhana, namun terlihat nyaman. di dindingnya penuh dengan karya, seperti kerajinan, lukisan, coretan-coretan, origami, bunga-bunga dari sedotan, dan masih banyak lagi. Aku yakin ini semua pasti hasil karya tangan para anak-anak hebat itu.
            Aku menghirup nafas, masih tak percaya. Mereka, penderita kanker yang biasanya hanya aku lihat di dunia maya, atau menonton kisahnya di sebuah film, atau membacanya di sebuah novel, kini sedang tersenyum di hadapan kami. Aku membalas senyum mereka penuh semangat.
            Raga mereka sakit, namun jiwa mereka tidak. Wajah mereka pucat, namun senyum mereka tetap cerah. Raga mereka lemah, namun hati mereka kuat. Hati mereka mungkin menangis, namun mata mereka tak menampakkan kesedihan.
            Kebetulan dalam acara ini, aku berkesempatan untuk menjadi pembawa acara. Rasanya gugup, di saat kita terbisa menghadapi penonton yang sehat, namun saat ini kita sedang menghadapi penonton yang sebenarnya sakit tetapi tetap berusaha untuk terlihat sehat.
           
Halloo!!! Sebelumnya perkenalkan namaku Ditya, Kami dari SMA Cakrawala, hari ini, di siang yang cerah ini, eh cerah gak sih? Ya anggap aja cerah ya, walaupun sedikit mendung.” Aku tertawa. Garing. Bagus. “Mendung juga gak berpengaruh, kan kita ada di dalam ruangan. Jadi kami akan tetap menghibur kalian semuaaa! Mana teriakannya woooo!!!” aku berseru semangat.
            “Jadi, sebelum ke puncak acara, kita persilakan terlebih dahulu sang ketua panitia untuk memberikan sambutan. Yok mari
Mas, waktu saya persilakan.” Aku turun dari panggung, kemudian digantikan oleh Adit yang menjabat sebagai ketua panitia dalam acara ini. Aku mendekati para anak-anak dan berbaur dalam rombongan mereka.
            “Hai! Aku kemarin ketemu kamu! Kamu kemarin pakai wig?” tanyaku pada anak perempuan itu. Seminggu yang lalu, aku melihatnya di sebuah acara penggalangan dana untuk penderita kanker. Saat itu rambutnya lurus sebahu namun sekarang sudah tidak lagi.
            “Rambutku rontok, karna kemoterapi lima hari yang lalu.” Anak perempuan itu tersenyum, namun kesedihan sangat terlihat pada sorot matanya. Aku begitu terkejut mendengarnya.
            “Nama kamu siapa?”tanyaku sambil mengulurkan tangan.
            “Cessa Kak.” jawabnya sambil membalas uluran tanganku.
            “Oya, aku dengar-dengar acara yang kemarin itu berhasil mengumpulkan uang dua ratus juta loh! Semoga bisa membantu penyembuhan penyakit kamu dan teman-teman ya!” kataku. Cessa mengangguk semangat.
            “Semoga kak.” balasnya.
            “Sebentar ya.” Aku pamit pada segerombolan anak yang ada di dekatku, kemudian berjalan menaiki panggung.
            “Ekhem! –Aku bertepuk tangan mencari perhatian- Oke sekarang aku mau mempersembahkan sesuatu untuk kalian semua!” anak-anak di depanku mulai berbisik-bisik antusias.
            “Sekarang, kalian boleh nengok ke belakang!” semuanya spontan menengok ke belakang. Di belakang sana berdiri sebuah grupband lokal yang namanya sudah tak asing lagi di telinga kami.
            “WAH!! HOPE BAND!!” seorang anak berteriak kegirangan. Personil Hope Band segera berjalan ke panggung. Lalu menjabat tanganku.
            “Hallo!! Kita semua senang bisa berkunjung ke sini, bertemu kalian, para anak-anak yang hebat. Ada yang sudah kenal kami?” tanya sang vokalis yang membawa gitar itu.
            “Hope Band!!” teriak anak-anak.
            “Wah! Ternyata kita cukup dikenal! Haha oya yang belum tau kita, ini aku Vano di vocal, dan ini Stevent sebagai bassist, dan yang itu Falen sebagai gitaris, dan yang di belakang sana, itu drummer kita namanya Elle, tapi sekarang dia main cajon bukan drum! Karna kita susah bawanya! Haha!” kata Vano memperkenalkan diri. Dan kulihat Elle tertawa di atas cajonnya.
            “Seperti nama band kita, Hope Band, semoga kita bisa membawa harapan bagi kalian semua.” kata Falen. “One.. Two.. Three.. go..” hitungnya.
            Intro lagu ini sudah tak asing lagi di telinga ku. Sayap Pelindungmu dari band The Overtunes. Ku dengar anak-anak itu ikut bernyanyi semangat. Tak jarang mereka tertawa di sela-sela bernyanyi, dan itu karna ulah panitia lain yang menjaili para personil Hope Band. Seperti saat ini, tiba-tiba seorang panitia laki-laki berlari kemudian menyelipkan bunga di telinga Vano. Kami semua tertawa melihatnya, termasuk para personil Hope Band itu sendiri.
            “Kapanpun mimpi terasa jauh, oh, ingatlah sesuatu, ku akan selalu jadi sayap pelindugmu.. saat duniamu mulai pudar dan kau merasa hilang, ku akan selalu jadi sayap pelindungmu..”
            Setelah menyanyikan beberapa lagu, hope band kemudian turun dan berbaur dengan anak-anak. Kini di atas panggung telah di isi oleh pentas teater dari sekolah kami. Tapi tak disangka Falen berjalan ke arahku kemudian duduk di sampingku.
            “Falen. Siapa?” tanyanya.
            “Ditya.” aku tersenyum. Canggung.
            “Makasih ya udah undang kita.” Falen tersenyum. Kemudian mengobrol dengan anak-anak di sekeliling kami.
            “Dit, kamu pernah gak sih mikir kalau kamu bukan siapa-siapa?” tanya Falen tiba-tiba. Jangan tanya gimana keadaanku, aku kaget setengah mati.
            “Pernah, kenapa?” tanyaku balik.
            “Tapi lihat deh mereka, mereka punya beban di hidupnya, mereka pasti gak pernah mau buat ngerasain itu semua.”
            “Iyalah, mana ada yang mau sakit kanker.” aku berbicara pelan.
            “Kamu ngerasa gak sih kalau sebenarnya kita itu beruntung? Kita sehat, bahagia, hidup berkecukupan, sedangkan mereka? Mereka punya beban yang berat di balik tawanya.”
            Aku diam tak bereaksi.
            “Kita harusnya lebih banyak bersyukur sama Tuhan. Karna kita dipilih untuk tidak merasakan penyakit itu.” kata Falen, matanya menerawang. “Aku jadi mau nyampein sesuatu sama mereka, Ikut yuk!” Falen tiba-tiba menggandeng tanganku dan membawaku ke depan panggung. Rasanya? Antara gugup dan canggung. Kita mau ngapain?
            “Hallo! Masih ingat namaku?” tanyanya semangat di balik mic.
            “Kak Falen!”
            “Yap betul! Jujur aku dan mungkin semua yang ada di sini kagum banget sama kalian, dan kita juga banyak belajar dari kalian.” Falen berhenti sebentar, menarik nafas.
            “Hati manusia pasti gak akan diam gitu aja. Kita mungkin memang terlahir berbeda. Tapi dengan perbedaan itu kita saling melengkapi, saling menemani.” katanya, kuliahat ada sedikit jeda.
            “Dan kalau mimpi kalian terasa jauh untuk digapai, coba lihatlah ke sekeliling kalian masih banyak orang yang peduli sama kalian, sayang sama kalian.” kataku, Falen tersenyum.
            “Yakinlah, kita gak bakal ninggalin kalian sendiriuntuk ngelawan monster itu. Kita akan ikut ngelawan monster itu. Kalian gak sendiri! Kita bakal lalui semuanya bareng-bareng!” kataku. Anak-anak itu diam mendengarkan, dan tak sedikit juga yang hampr menangis.
            “Mungkin kita emang gak punya kuasa, mungkin kita gak bisa berbuat apa-apa. Kita memang bukan Tuhan yang tiba-tiba bisa mengusir monster itu. Mungkin emang cuma kalian yang bisa ngelawan monster itu. Kalian jangan mau kalah sama monster itu! Kalian harus berjuang buktikan kalau kalian memang kuat dan hebat!” kata Falen. Terlihat semburat kesedihan di dalam matanya.
            “Moster itu bukan halangan kalian untuk meraih mimpi. Kalian tetap punya kesempatan yang sama, seperti kita.” sambungnya.
            “Tetaplah tersenyum, percaya sama diri kalian kalau kalian akan sembuh. Kita semua di sini dukung kalian, orang tua kalian, para ibu asuh kalian, dokter, aku, Vano, Elle, Stevent, Ditya, dan panitia yang lain.”
            “Intinya tetap semangat, dan jangan pernah merasa sendiri! Duh Len, kenapa jadi sedih gini sih?” aku tertawa walaupun terlihat terpaksa.
            “Len sehat? Gila itu bukan lo banget man!” Elle dari belakang sana berteriak diselangi tawa.
            “Ya mungkin ada monster baik yang tiba-tiba masuk ke tubuh aku, dan kemudian mengambil sisi buruk ku.” Falen tertawa. Padahal sama sekali tidak ada yang lucu.
            “Apaan sih Len! Jayus!” Stevent berteriak dari seberang sana.
            “Sorakin Kak Falen WOOO!!!” aku berseru lalu diikuti oleh sorakan anak-anak. Falen nyengir memperlihatkan giginya.
            “Kak Falen ini merusak suasana ya. Yang harusnya kita bahagia malah dibikin nangis gini.. hmm enaknya Kak Falen diapain ya?” Tanyaku sambil menatap jail Falen.
            “HUKUM!!!” dari sisi yang berbeda semua personil Hope Band berteriak bersamaan. Aku tertawa.
            “Enaknya dihukum apa nih?” tanyaku jail. “Gimana kalau kita main truth or dare aja? Jadi sebenarnya kita sudah menyiapkan sebuah undian, dan semua nama kalian ada di sini, Termasuk nama para personil Hope Band, pengisi acara, dan panitia. Dan namaku gak ada di sini! Yey!” aku tertawa penuh kemenangan.
            “Apaan! Gak adil banget! Apaan!” kata Falen kesal. Aku tertawa kemudian menjulurkan lidah mengejek.
            “Dan untuk korban awalnya adalah Kak Falen! Dan sebagai hukuman, Kak Falen harus pilih dare!” aku tertawa puas. “Ada yang mau usul?” tanyaku.
            “Nyanyi dangdut sambil goyang!” Adit berteriak dari kumpulan para panitia.
            “Yok mari Mas Falen, Monggo!” kataku sambl tertawa puas.
            “Tarik maaang!”
            Acara kembali heboh dan menyenangkan. Kami semua bercanda tawa, bahagia. Rasanya aku ingin mereka terus seperti ini, terus tertawa tanpa adanya beban, tanpa adanya obat, tanpa adanya rasa sakit setelah kemoterapi. Tapi aku tau, mereka sebenarnya orang-orang yang terpilih, orang-orang yang istimewa. Mereka dipilih karna Tuhan yakin mereka kuat, mereka bisa, dan mereka mampu menghadapi semuanya. Tuhan, aku bersyukur pada-Mu atas semua yang telah Kau berikan kepadaku.
-Tamat-

Read Comments